Yogyakarta – Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto telah menuai sorotan hanya dalam hitungan hari setelah dilantik. Sejumlah menteri di kabinet ini terlibat dalam kontroversi yang mengundang perhatian publik. Dari pernyataan mengenai tragedi 1998 hingga penggunaan surat berkop kementerian untuk urusan pribadi serta permintaan anggaran fantastis, berikut rangkuman kontroversi yang terjadi.
Yusril Ihza Mahendra dan Tragedi 1998
Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menyebut peristiwa kekerasan dan kerusuhan yang terjadi pada 1998 tidak masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. Pernyataan itu bermula ketika Yusril ditanya tentang upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di masa kepemimpinannya. Yusril menjawab, selama beberapa tahun terakhir tidak terjadi pelanggaran HAM berat di Indonesia. Menurutnya, pelanggaran HAM berat itu jika terjadi genosida, massive kiling, dan ethnic cleansing.
“Tidak terjadi dalam beberapa dekade terakhir ini. Mungkin terjadi justru pada masa kolonial, pada waktu awal perang kemerdekaan,” kata Yusril sebelum acara pelantikan menteri Kabinet Merah Putih, di Istana Negara, Jakarta, Senin (21/10).
Mendengar itu, seorang wartawan lalu bertanya, “[Tragedi] 98 tidak termasuk ya, Prof?”
“Enggak,” jawab Yusril.
Pernyataan Yusril ini segera menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Komnas HAM dan organisasi masyarakat sipil. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut pernyataan Yusril tidak mencerminkan pemahaman yang benar tentang Undang-Undang HAM. Pasal 104 Ayat (1) dalam Undang-Undang tentang HAM dan Pasal 7 Undang-Undang tentang Pengadilan HAM memberikan definisi yang lebih luas terkait pelanggaran HAM berat, sehingga peristiwa 1998 bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.
Namun, dalam keterangan terbaru, Yusril mengklarifikasi bahwa ucapannya pada hari pelantikan tidak sepenuhnya jelas karena ia tidak mendengar pertanyaan wartawan dengan baik. Ia menjelaskan bahwa pemerintah Prabowo akan mengkaji kembali rekomendasi-rekomendasi dan temuan terkait peristiwa 1998 yang dikeluarkan oleh pemerintah sebelumnya, termasuk Presiden Joko Widodo yang secara resmi mengakui adanya pelanggaran HAM Berat.
“Kemarin tidak begitu jelas apa yang ditanyakan kepada saya apakah terkait masalah genocide atau kah ethnic cleansing? Kalau memang dua poin itu yang ditanyakan, memang tidak terjadi pada waktu 1998,” kata Yusril di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa, 22 Oktober 2024.
Yandri Susanto dan Penggunaan Surat Berkop Kementerian
Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto, pembicaraan seusai diduga menggelar acara pribadi dengan undangan resmi Kementerian. Dalam undangan itu, Yandri mengeluarkan surat dengan kop dan stempel Kementerian Desa PDT untuk menggelar acara tasyakuran di Ponpes Bai Mahdi Sholeh Ma’mun, Kabupaten Serang, Banten, Selasa (22/10/2024).
Acara itu dalam rangka memperingati haul ke-2 almarhumah Biasmawati yang juga ibunda dari Yandri.Namun, kegiatan itu juga dibalut dengan acara hari santri nasional. Yandri mengakui kesalahannya dan berjanji tidak akan mengulangi hal tersebut di masa mendatang. Namun, perbuatannya itu telah mendapat kritikan keras dari mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, yang menyebut penggunaan kop surat resmi untuk acara pribadi sebagai tindakan yang melanggar etika birokrasi.
Menurut Mahfud, kegiatan seperti haul atau syukuran seharusnya menggunakan undangan pribadi atau yang dikeluarkan oleh pihak terkait, seperti pengasuh pondok pesantren, bukan surat berkop kementerian.
“Kan tidak boleh, ya, urusan pribadi begitu, urusan tahlilan, urusan syukuran, lalu menggunakan kop dan stempel menteri. Itu kan bukan menjadi tugas kementerian,” kata Mahfud saat ditemui usai acara serah terima jabatan Kementerian Pertahanan, Selasa, 22 Oktober 2024.
Natalius Pigai dan Permintaan Anggaran Rp 20 Triliun
Pernyataan kontroversial juga datang dari Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai, yang menghendaki alokasi anggaran di kementeriannya sebesar Rp20 Triliun, jika Negara menyanggupi.
“Rombak itu. Dari Rp20 T (pagu anggaran) cuma Rp64 M. Tidak bisa. Tidak tercapai cita-cita dan visi keinginan Presiden Indonesia,” ujar Natalius Pigai saat acara penyambutan di Gedung Kemenkumham, Jakarta Selatan, Senin (21/10).
Dia mengatakan, anggaran yang besar itu dibutuhkan untuk memperkuat perlindungan HAM. Saat ini, Kementerian HAM hanya memiliki anggaran Rp 64 Miliar, yang dinilai Pigai tidak cukup untuk mewujudkan visi pemerintah dalam membangun HAM di Indonesia. Pigai menyatakan bahwa Kementerian HAM yang baru dibentuk oleh Presiden Prabowo memiliki misi besar, sehingga membutuhkan dana yang memadai. Dia menyebut bahwa tanpa anggaran yang memadai, kinerja kementeriannya tidak akan mampu memenuhi visi dan misi Presiden Prabowo dalam bidang HAM.
Mantan Komisioner Komnas HAM itu juga menyampaikan ide pendirian Universitas Hak Asasi Manusia (Unham). Menurutnya, Unham akan memberi kontribusi penting bagi penguatan HAM di Indonesia.
“Saya mau mendirikan Unham, Universitas Hak Asasi Manusia dengan jurusan ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya, pusat laboratorium HAM di situ, pusat studi HAM di situ, itu anggarannya berapa itu yang saya butuh, itu akan satu-satunya di dunia lho,” katanya.
Pernyataan Pigai mendapat kritikan dari mantan Wakil Menteri Luar Negeri, Dino Patti Djalal.
“Pernyataan Menteri HAM Natalius Pigai untuk naikkan anggaran dari Rp60 miliar menjadi Rp20 triliun adalah yang hal yang tidak masuk akal, dan tidak akan mungkin dikabulkan Presiden Prabowo, Menteri Keuangan dan DPR, karena akan menghamburkan uang Negara untuk program yang tidak jelas dan akan berbuntut korupsi,” kata Dino dalam keterangannya yang dibagikan ke wartawan, Rabu (23/10).
“Koordinasi dulu dengan Menko-nya, Setneg dan Kantor Presiden sebelum membuat pernyataan kebijakan yang berisiko tinggi. Ingat, Anda sekarang pejabat pemerintah, bukan aktivis lagi. Credibility is everything,” tegas Dino kemudian.
Terkait dengan keinginan Pigai, Wakil Ketua DPR Adies Kadir mengatakan pihaknya perlu melihat terlebih dulu kebutuhan apa saja yang diperlukan dari anggaran itu.
“Kita belum lihat ya apa-apa saja yang diajukan dari Rp60 miliar sampai Rp20 triliun. Nanti kita akan lihat apakah masuk akal atau tidak,” kata Adies, Rabu (23/10).
Pelantikan Mayor Teddy dan dugaan pelanggaran UU TNI
Penunjukkan Mayor Teddy sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab) Merah Putih tuai pro kontra bagi sejumlah kalangan. Status Mayor Teddy yang saat ini masih jadi anggota TNI aktif membuat timbulnya kontraversi eks Ajudan Prabowo itu sebagai Seskab. Pelantikan Teddy sebagai Seskab juga dibarengi dengan pelantikan para wakil menteri.Pengangkatan Teddy berdasarkan Keppres nomor 143p/2024 tentang pengangkatan sekretaris kabinet.
SETARA Institute menyebut pengangkatan Mayor Teddy sebagai Seskab melanggar UU TNI.
“Pengangkatan Mayor Teddy melanggar ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI bahwa Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan,” kata Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan dalam keterangan yang diterima, Selasa (22/10/2024).
Merujuk pada UU TNI, prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Namun syarat ini tidak berlaku ketika prajurit aktif menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung. Tapi pihak Istana berdalih posisi Teddy tidak setara menteri, dan Presiden Prabowo telah mengubah nomenklaturnya menjadi seperti “Sekretaris Militer, Sekretaris Pribadi” yang akan bekerja di bawah Kementerian Sekretariat Negara.
“Seskab (sekretariat kabinet) itu kemungkinan besar ada di bawah Kementerian Sekretariat Negara nantinya,” kata Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, Senin (21/10). Oleh sebab itu, Sufmi Dasco Ahmad, politikus Gerindra sekaligus tangan kanan Presiden Prabowo Subianto mengatakan, Mayor Teddy tak perlu pensiun dini atau mundur dari keanggotaan TNI.
Dasco menambahkan, jabatan tingkat seperti yang diduduki Teddy itu batasan paling tinggi adalah setara eselon dua, atau berpangkat Brigadir Jenderal. Dengan demikian, menurut Dasco, Teddy yang berpangkat mayor masih bisa mengisi jabatan sekretaris tersebut.
“Dengan perubahan nomenklatur ini, dapat diisi oleh saudara Teddy tanpa harus pensiun dari TNI karena bukan setingkat menteri,” kata dia.
Gelar Doktor Honoris Causa Raffi Ahmad Dipertanyakan
Selebriti Raffi Ahmad turut mencuri perhatian setelah dilantik sebagai Utusan Khusus Presiden Prabowo untuk Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni. Saat pelantikannya, pihak kepresidenan mengumumkan bahwa Raffi memiliki gelar doktor honoris causa (HC) yang diterimanya dari Universal Institute of Professional Management (UIPM). Namun, hal ini menuai kontroversi karena Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud) belum mengakui keabsahan gelar tersebut.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dirjen Diktiristek) Prof. Abdul Haris mengatakan, gelar tersebut tidak sah karena UIPM tidak memiliki izin operasional penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia.
“Tanpa izin operasional penyelenggaraan pendidikan tinggi dari pemerintah, gelar akademik yang diperoleh dari perguruan tinggi asing tersebut tidak dapat diakui,” kata Haris
Reporter : Farah Dwi Anvaro
Editor : Dina Nofitalia